Sistem Pengelolaan dan Manajemen Home Industry Pembuatan Kerupuk Kemplang, Kota Jambi


(Jambi, 07 September 2020), Karina Septiasari (501180193) Mahasiswi UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, melaksanakan kegiatan PPL. Kegiatan ini dilaksanakan di Jl. Wali Songo RT.03 Kel. Kenali Besar Kec. Alam Barajo Kota Jambi.


Kemplang adalah salah satu kerupuk yang familiar di Provinsi Sumatra Selatan karena proses pematangannya dengan cara dibakar diatas bara api, sehingga tidak banyak mengandung kolesterol, makanan renyah ini disukai hampir seluruh kalangan masyarakat mulai dari anak kecil, remaja hingga orang dewasa sekalipun. Biasanya kerupuk ini dikonsumsi dengan menambahkan sambal sehingga menciptakan rasa yang lebih enak.

Dari ide inovasi kemplang inilah kemudian muncul ide usaha industri rumahan (home industry) yang potensial. Inilah yang direalisasikan oleh seorang pelaku usaha kerupuk kemplang di Jl. Wali Songo RT.03 Kel. Kenali Besar Kec. Alam Barajo Kota Jambi , Bapak Ismet yang biasa disapa Cek Memet. Usaha yang digelutinya ini sudah berdiri selama 26 tahun, sejak tahun 1994. Beliau mendirikan usaha tersebut dengan tujuan menambah penghasilan keluarganya.

Pada usaha industri rumahan (home industry) milik pak Ismet ini, ia  memproduksi kemplang mentah (belum dipanggang). Pak Ismet mengatakan kelebihan menjual kemplang mentah ialah dapat dijual dalam waktu yang lebih lama. 

Dirumahnya terdapat 3 pekerja yang merupakan keluarga yang membantunya setiap hari memproduksi kemplang. Pembuatan kemplang berlangsung pada pagi hari sampai jam 10 malam.

Setiap harinya Pak Ismet harus menyiapkan sejumlah bahan seperti tepung tapioka dan ikan sebagai bahan utamanya untuk memproduksi 3 ribu keping kemplang mentah. Selain itu bahan lain yang digunakan yaitu air,telur, garam, dan penyedap rasa. 

Mulanya daging ikan digiling terlebih dahulu lalu dicampurkan tepung tapioka sehingga membentuk sebuah adonan. Adonan tersebut melewati tahapan pemipihan menggunakan alat.Setelah adonan telah sesuai dengan ketebalan yang diinginkan,lalu di potong membentuk lingkaran dengan diameter 2-3mm.Tak hanya sampai disitu, potongan yang telah pipih tersebut disusun diatas tatakan lalu dikukus selama 10 menit. Kukusan yang telah selesai dapat ditandai dengan perubahan warna sedikit kekUsai dikukus dan didinginkan kerupuk tersebut dijemur diatas terik matahari. Proses penjemuran sangat tergantung dengan cuaca. Cuaca yang tidak menentu kadang hujan dan kadang panas membuat kemplang membutuhkan waktu penjemuran yang lebih lama dari biasanya.           

"Kalau cuaca mendung biasanya saya tidak memproduksi karena akan mempengaruhi kualitas kemplang itu sendiri," ungkapnya.Setelah kepingan kemplang itu keras, Pak Ismet siap menjual kepada pelanggannya dengan harga jual 300 rupiah/ keping kemplang mentah. Para pembeli datang sendiri untuk membeli kemplang untuk mereka jual kembali dan ada pula untuk konsumsi sendiri. Dari menjalani usaha ini beliau bisa menghasilkan pendapatan 1 Juta/hari . 

Kemplang yang terjual dalam sehari tergantung dengan kondisi, seperti pada saat awal pandemi covid 19, Pak Ismet mengatakan bahwa pendapatannya menurun, karena pelanggannya sebagian besar adalah pedagang yang berjualan di sekolah. Tapi di saat masa new normal penjualannya sudah perlahan meningkat kembali.

Beliau mempunyai cara untuk mempertahankan usahanya dengan terus berinovasi dalam mengembangkan usaha dan tetap menjaga citarasa dari kerupuk kemplang dan menambah jumlah produksi serta jenis- jenis kerupuk agar dapat meningkatkan pendapatan hingga bisa menembus pasaran.

Dengan adanya industri rumahan (home industy)  maka bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kurang memadai atau memiliki penghasilan yang sedikit sebelumnya. 

Dengan usaha industri rumahan (home industry) milik Pak Ismet ini tentunya merupakan suatu usaha yang patut digalakkan untuk berkembang sebagai upaya mensejahterakan keluarga.


 

Popular posts from this blog

However previously, Pfizer's big acquisitions were actually criticized for

However that's precisely the type of lawn competitors coordinators in Sweden were actually searching for when they introduced the reward for the "World's Ugliest Yard."

Imagine that you have low vision and you’re completing an online job application using screen reader software.